Banyak Pengikut, Apakah Berarti Benar?
Masyarakat jahiliyah masih memiliki prinsip bahwa yang jadi tradisi itulah yang benar. Sedangkan yang menyelisihi mainstream, yang menyelisihi kebanyakan orang itulah yang sesat.
Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata, “Di antara prinsip jahiliyyah, mereka percaya bahwa standar kebenaran adalah jika banyak yang menganutnya. Itulah yang jadi dalil pembenaran. Sedangkan kebatilan atau sesatnya sesuatu dilihat dari keterasingan dan pengikutnya yang sedikit. Ini lawan dari prinsip yang disebutkan di awal. Padahal prinsip semacam ini bertolak belakang dengan ajaran yang disebutkan dalam Al Quran.” (Syarh Masailil Jahiliyyah, hal. 38).
Padahal Allah Ta’ala menegaskan bahwa yang sesat justru yang banyak.
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS. Al An’am: 116)
Dalam ayat lainnya disebutkan bahwa yang tidak tahu malah kebanyakan orang.
“Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 187)
Malah kebanyakan orang adalah fasik.
“Dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.” (QS. Al A’raf: 102)
Sejatinya yang berpegang teguh pada kebenaran hanyalah sedikit.
“Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. ” (QS. Hud: 40).
Sebagaimana pula disebutkan dalam hadits 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab bahwa pengikut para Nabi itu sedikit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku melihat seorang nabi yang hanya memiliki beberapa pengikut (3 sampai 9 orang). Ada juga nabi hanya memiliki satu atau dua orang pengikut saja. Bahkan ada nabi yang tidak memiliki pengikut sama sekali.” (HR. Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 220).
Ada Nabi yang pengikutnya banyak, ada nabi yang pengikutnya sedikit. Ini menunjukkan bahwa tidak selamanya jumlah pengikut yang banyak menunjukkan atas kebenaran. Yang jadi patokan kebenaran bukanlah jumlah, namun diilihat dari pedoman mengikuti Al Qur’an dan hadits, siapa pun dia dan di mana pun dia berada.
Sebagaimana kata Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dalam Kitab Tauhid ketika menarik faedah dari hadits di atas, “Kita tidak boleh silau dengan jumlah yang banyak dan tidak boleh pesimis dengan jumlah yang sedikit.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menjelaskan bahwa orang yang berpegang pada kebenaran itu terasing.
“Islam datang dalam keadaan yang asing, akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntungnlah orang yang asing” (HR. Muslim no. 145, dari Abu Hurairah).
Ketulenan kebenaran bukanlah dilihat dari banyaknya pengikut. Patokannya adalah tetap melihat apakah bersesuaian dengan kebenaran. Kalau memang standar banyak yang dijadi patokan kebenaran, itu baik. Namun mayoritas yang banyak itu merujuk pada kebatilan.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya-.” (QS. Yusuf: 103).
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al An’am: 116)
Jangan merasa bahwa yang banyak diikuti dan diamalkan berarti selalu benar. Kalau prinsip seorang muslim selalu memakai jumlah yang banyak itulah yang benar berarti dalam dirinya masih menganut prinsip beragamanya orang Jahiliyyah. Padahal sifat jahiliyyah selalu menunjukkan kehinaan.
No comments:
Post a Comment